Jumat, 08 November 2013

jendela hati, kemana kah hati ini akan memandang


Mengelola hubungan suami istri yang sehat adalah sebuah seni tingkat tinggi. Bukan sekadar membutuhkan kecukupan ilmu dengan tingkat aplikasi yang seringkali kondisional, namun juga kepekaan rasa karena melibatkan manusia yang masing-masingnya membawa keunikan sendiri-sendiri. Selain bahwa hubungan yang diharapkan bukan hanya adanya kontak fisik karena bertempat tinggal di alamat yang sama, namun lebih kepada terhubungnya jiwa-jiwa yang ada di dalamnya.
Sebab, keterhubungan emosional seperti inilah yang akan menyamankan jiwa. Memberi perasaan berarti, berharga, diterima, dan disayangi, hal-hal substansial yang memang seharusnya ada dalam setiap hubungan yang baik. Sedang ketersediaan materi, yang melimpah sekalipun, tidak akan bisa menghubungkan jiwa jika ia berdiri sendiri sebagai wasilah, bukan sebagai ekspresi kepedulian.
Dan kita seringkali tidak tahu bahwa ada hal-hal yang tampak sepele namun memberi efek luar biasa bagi upaya mencapai keterhubungan hati itu. Salah satunya adalah kontak mata. Bukankah salah satu ciri perempuan shalihah adalah dia yang jika kita memandangnya akan menyenangkan hati? Sebab kontak mata adalah salah satu penghubung nonverbal paling penting yang murah dan efektif yang kita miliki untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain.
Dari semua cara kita berkomunikasi, kontak mata mungkin yang paling kuat. Ia adalah langkah pertama bagaimana kita membangun komunikasi dengan pihak lain, mempersempit kesenjangan fisik dan menciptakan keterlibatan pribadi dalam sebuah hubungan yang lebih intim, lebih dekat. Saat memandang istri, seolah kita berkata, “Aku peduli kepadamu, menghargaimu, mempercayaimu dan menyayangimu.”
Melakukan kontak mata adalah menghubungkan jiwa. Ia akan mengirimkan getaran positif dan memenuhi otak kita dengan hormon oksitosin yang, insyaallah, mengikatkan jiwa kita dengan istri. Membuat kita terhubung tanpa merasa khawatir akan kekurangan pasangan yang memang pasti ada.
Memandang juga bisa memicu munculnya senyuman sebagai penghargaan terhadap pengakuan pasangan. Padahal Rasulullah saw menganjurkan kepada kita untuk tidak meremehkan kebaikan meski hanya dengan wajah ceria saat berjumpa dengan saudara. Lalu bagaimana dengan istri yang tentu lebih layak untuk mendapatkannya? Maka, melakukan kontak mata yang sering dengan istri, atau malah menjadikannya sebagai kebiasaan jelas merupakan hal yang terpuji.
Saya sering menganjurkan kepada para istri untuk menyambut kedatangan suami tercinta dengan wajah yang menatap penuh, bukan punggung rapuh yang dibalut daster lusuh. Wajah yang sumringah seolah ingin menyatakan selamat datang, selamat kembali ke taman surga dunia yang penuh sukacita. Sedang kita sebagai suami, berbicara melalui mata seolah menyatakan penghargaan atas kerja keras mereka telah mengatur rumah, menjaga kemuliaannya, dan atas pendidikan mereka kepada anak-anak.
Juga saat berangkat ke tempat kerja, atau keperluan kebaikan yang lain. Kita ingin agar memandang wajah istri adalah hal terakhir yang kita lakukan, setelah mengucapkan salam dan mendaratkan kecupan. Seolah kita ingin menitipkan kehormatan keluarga beserta para penghuninya agar terjaga dengan baik. Sedang para istri melepas kepergian para suami seolah berkata, “Dinda percaya bahwa kakanda keluar rumah untuk kebaikan, dan pulang membawa rezeki yang halal. Sebab dinda lebih tahan lapar dan tidak tahan panasnya api neraka karena makanan yang haram.” Alangkah indahnya!
Karena mata adalah jendela jiwa. Ia melampaui kata-kata dalam mengungkapkan perasaan. Tanpa sepatah kata terucap pun, ia bisa melukiskan cinta, penerimaan, harapan, ketakutan, peringatan, kemarahan, dan banyak lagi.  Ralph Waldo Emerson pernah berkata, “Dari hal-hal yang paling indah di alam adalah kepolosan mata; itu melampaui berbicara; itu adalah simbol identitas tubuh.”
Sebaiknya kita tahu bahwa pribadi yang memiliki masalah kecemasan sosial mengalami kesulitan mempertahankan kontak mata seperti yang dilakukan pembohong. “Individu yang mengalami depresi cenderung menghindari kontak mata dalam situasi sosial dan dalam eksperimental. Sedangkan orang-orang yang bahagia secara aktif akan mencari kontak mata,” tutur Dr Peter Hills, dosen Psikologi di Anglia Ruskin University.
Menghindari kontak mata dapat meningkatkan depresi pada individu yang sedang tidak bahagia dan dapat memicu isolasi diri. Bagi orang yang bersedih, kontak mata akan mengganggu komunikasi sosialnya sehingga mereka mengasingkan diri dari situasi sosial tertentu. Hal yang mungkin bisa menurunkan kadar kecemasan yang disebabkan oleh situasi itu sendiri, namun hal itu justru dapat meningkatkan isolasi sosial dan memperdalam kesedihan hati mereka.
Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang suami memandang istrinya dengan kasih sayang, dan istrinyapun memandang dengan kasih sayang, maka Allah memandang keduanya dengan pandangan kasih sayang. Dan bila suami memegang telapak tangan istrinya, maka dosa-dosa keduanya berguguran dari celah jari jemari tangan keduanyanya.”
Nah, siapa sekarang yang siap menjadikan kontak mata dengan istri sebagai sebuah kebiasaan?
http://www.arrisalah.net/2011/10/10/jendela-hati/
copas sebelah catatan ust. tri asmoro 

surga di rumah kita


by : ust. tri asmoro
Sudah sama-sama kita pahami bahwa pernikahan adalah seni mengelola hati tingkat tinggi. Bagaimana kita bekerja keras agar hati merasa nyaman menjalani hari demi hari bersama seluruh anggota keluarga. Berupaya sekuat tenaga untuk mewujudkan surga dunia yang menjadi dambaan semua pelaku pernikahan. Meski tidak mudah, hal ini tetap kita upayakan semaksimal mungkin, karena inilah pertaruhan kita saat memutuskan untuk membangun maghligai keluarga.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah memberikan arahan mulia tentang sendi-sendi kebahagiaan sebuah keluarga. Beliau bersabda, “Empat hal  termasuk kebahagiaan; istri yang shalihah, tempat tinggal yang lapang, tetangga yang baik,  dan kendaraan yang nyaman. Empat hal termasuk  kesengsaraan; tetangga yang buruk,  istri yang buruk  (akhlaknya),  tempat tinggal yang sempit dan kendaraan yang jelek.” (HR Ibnu Hibban).
Sendi pertama kebahagiaan keluarga adalah istri yang shalihah. Sebaik-baik perhiasan dunia, demikian Rasulullah menyatakan, yang bila dipandang  suami, dia menyenangkan, bila diperintah menaati, diberi materi mensyukuri, dan bila ditinggal pergi menjaga kehormatan diri dan harta suaminya. Ialah sebaik-baik manfaat, setelah takwa kepada Allah, sehingga keberadaannya diniscayakan dalam sebuah keluarga bahagia.
Bayangkan jika istri kita di rumah, selalu berwajah muram. Ketika di pandang suaminya membuat sebal dan pegal, rajin membantah, tidak mensyukuri pemberian suami, suka menghambur-hamburkan  harta, tidak peduli terhadap pendidikan anak, suka hutang  kepada tetangga kanan kiri tanpa sepengetahuan suami, malas beribadah, dan kalau dinasehati suka manyun sendiri. Sungguh, keluarga seperti inilah yang benar-benar membuat sengsara.
Dan karena para lelakilah yang memilih siapa yang akan menjadi istri mereka, maka kepedulian mereka akan keshalihan istri adalah bukti kedewasaan berfikir dan ketajaman visi. Karena mereka tidak menikah untuk satu dua hari, dan juga bukan untuk diri mereka sendiri. Maka beruntunglah para lelaki yang memilih pendamping hidupnya karena standar agama, sebagai modal awal pembangunan keluarga mereka.
Pun demikian jika ternyata para suami telanjur salah memilih, adalah tugas mereka untuk mendidik, merawat, dan mengembangkan kualitas agama para istri itu, termasuk anggota keluarga lainnya. Bahkan bagi yang telah memilih istri shalihah sekalipun, penjagaan kualitas iman harus terus diupayakan karena tidak ada jaminan stabilitas kualitas iman seseorang. Selain iman yang fluktuatif, bukankah hati manusia juga mudah berubah?
Sendi kebahagiaan keluarga yang kedua adalah tempat tinggal yang lapang. Tempat dimana kita bisa menunaikan kewajiban dan mendapatkan hak secara layak, mengaplikasikan syariat secara nyaman, menyediakan tempat tumbuh kembang yang memadai, serta beristirahat yang cukup. Bayangkan jika kita memiliki banyak anak, laki-laki dan perempuan di usia remaja. Dengan kamar-kamar yang semestinya terpisah, berapa kamar tidur yang sebaiknya ada, berapa kamar kecil yang harus tersedia? Belum lagi jika ada tamu berkunjung, laki-laki dan perempuan. Betapa repotnya mengatur ruangan agar nyaman dan tetap tidak melanggar syariat.
Maka bagi siapa di antara kita yang memiliki hunian yang lapang dan nyaman, kesyukuran kepada Allah sangat layak kita haturkan. Karena faktanya, tidak mudah mewujudkan hunian impian di saat seperti ini. Dan di luar sana masih sangat banyak keluarga yang tinggal di bilik-bilik sempit, bahkan seringkali bukan milik sendiri, dalam waktu yang tidak sebentar.
Sendi kebahagiaan berikutnya adalah tetangga yang baik. Bukan saja karena kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain, juga karena para tetanggalah yang secara nyata menjadi orang-orang terdekat kita. Dan mereka memiliki sejumlah hak atas kita, yang tentu saja akan sangat sulit diaplikasikan jika kita memiliki tetangga yang buruk.
Islam memberi petunjuk agar kita berbuat baik kepada para tetangga. Dimana hal ini menjadi bukti iman kita kepada Allah dan hari akhir. Bila mereka sakit,  kita menjenguk. Jika mereka meninggal, kita tunaikan hak si mayit. Jika mereka berhutang, kita memberi selama kita memilikinya. Jika mereka mempunyai suatu rahasia, kita harus ikut menutupinya. Dan hal-hal lain yang menjadi konsekuensi kehidupan bertetangga. Indah, namun juga sangat mengganggu jika para tetangga kita buruk akhlaknya.
Dalam hal ini, memilih lingkungan yang kondusif bagi aplikasi syariat jelas sebuah kebutuhan  yang urgen. Kita sebagai kepala keluarga jelas bertanggung jawab atas pilihan tempat tinggal, berikut kualitas para tetangga di kanan kirinya. Apalagi jika kita sering meninggalkan rumah, tetangga yang buruk bisa mengancam keseimbangan jiwa anggota keluarga kita.
Berikutnya adalah kendaraan yang nyaman. Sebuah alat transportasi yang memudahkan kita memindahkan anggota keluarga ke berbagai tempat tujuan. Mendatangi majelis ilmu, berekreasi, mendatangi tempat kerja atau sekolahan, melakukan kegiatan iqamatudin, hingga menjalin silaturahmi.
Bukan saja menghemat waktu dan biaya, penjagaan syariat akan kehormatan diri anggota keluarga kita akan jauh lebih baik jika kita memiliki kendaraan pribadi yang layak dibandingkan jika kita memakai kendaraan umum. Sebab, jelas bukan menjadi keinginan kita jika istri atau putri kita berdesak-desakan di kendaraan umum. Sulit menjaga aurat dan menghindarkan diri dari sentuhan laki-laki ajnabi, di tempat umum.
Bagaimanapun, apa yang ditunjukkan oleh hadits di atas layak untuk kita renungkan. Mungkin terkesan materialistis, tapi memang begitulah kenyataannya. Bahwa harga sebuah surga di dunia ini yang bernama keluarga tidaklah murah. Para lelaki sebagai pemimpinnya bertanggung jawab atas itu semua. Dan, jelas membutuhkan keterampilan yang jauh lebih rumit jika ternyata kita tidak memiliki sendi-sendi kebahagiaan keluarga seperti tersebut di atas.
Semoga Allah memudahkan kita meraih kebahagiaan dalam kehidupan pernikahan kita. Agar surga itu benar-benar kita rasakan di dalamnya. Aamiin!